jump to navigation

ICW dan Reaksi Sosial Terhadap Kejahatan Korupsi di Indonesia Monday, August 30, 2010

Posted by takur in sosial politik.
trackback

NANTO  WIBOWO  SETIAWAN

This thesis discusses about the problems of corruption in Indonesia and the role of non-governmental organizations on efforts to against corruption. Indonesia as a democratic country has the consequence of the participation of actors outside the government, to participate in a complete agenda of legal reform. The method used in this study is a qualitative approach with descriptive type. Data collected through literature study, analysis, documentation and interviews. The results showed that the Indonesian Corruption Watch as non-governmental organizations or actors outside the government is a manifestation of the social reactions of non-formal community (outside the formal legal system, which formed the state) to the evils of corruption. Non-formal social reaction from the public to the evils of corruption emerged because the public wants the criminal justice system is formally established, to finishing every problem of corruption for the sake of law and justice in society.

Key words:

Non-Government Organizations, Non-formal Social Reaction, Corruption.

PENDAHULUAN

Indonesia dengan jumlah penduduk yang hampir mencapai 230 juta jiwa, menjadi salah satu negara terbesar populasinya di dunia. Pada tahun 2009 total penanaman modal asing (PMA) yang mengalir ke Indonesia tercatat mencapai Rp.135,18 trilyun (US$ 15,02 miliar). Masuknya penanaman modal asing ke Indonesia berdampak pada dua dimensi atas kemajuan pembangunan di bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Dimensi positif pembangunan adalah meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan dimensi negatif adalah ketika pembangunan tidak diawasi secara ketat akan menimbulkan permasalahan baru  yaitu “korupsi”. (S.Anwary, 2005, p. 5) menyatakan korupsi dalam proses pembangunan di negara berkembang, ternyata dilakukan oleh aktor-aktor yang ikut terlibat didalam melaksanakan proses pembangunan itu sendiri.

Pada tataran aspek sejarah bangsa Indonesia, (Wijayanto, 2008, p.5) dan (Jon S.T. Quah, 1999, p. 485-486) melihat bahwa perilaku korupsi sudah merupakan bagian budaya yang ada sejak zaman kekuasaan kerajaan di nusantara. Selain itu bahwa bangkrutnya VOC awal abad ke-20 di Indonesia juga disebabkan korupsi. Sementara itu pasca proklamasi kemerdekaan, banyak pegawai-pegawai pemerintah Belanda di level pejabat tinggi kemudian meninggalkan Indonesia untuk kembali ke tanah airnya. Kekosongan kepegawaian menimbulkan transisi dan rotasi dimana kemudian posisi-posisi kepegawaian pemerintahan itu diisi oleh pegawai dari kalangan pribumi.

(Haryono, 2002, p.4) dalam buku “budaya korupsi ala Indonesia”, mengutip dari John laird dalam tulisan Money Politics, Globalisation, and Crisis: the case or Thailand, menyatakan bahwa faktor-faktor terjadinya perilaku korup adalah mungkin dan umum terjadi dalam konteks sistem birokrasi patron-klien Pola perilaku korup yang didukung sistem birokrasi patron-klien, dapat dilihat ketika era orde-baru berkuasa dimana banyak pengusaha-pengusaha kakap rente dan pejabat pemerintah menikmati berbagai fasilitas karena kedekatannya dengan presiden Soeharto, baik terkait bisnis, kekuasaan atau strata politik.

Korupsi menjadi permasalahan klasik yang dihadapi oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia. Ketika proses pembangunan berjalan tanpa adanya kontrol ketat, dan secara bersamaan dengan itu pembangunan hanya mengakomodir kepentingan kalangan elit-elit tertentu yang berkuasa, hal ini kemudian menimbulkan persekongkolan jahat yang berdampak pada kerugian keuangan negara.

TABEL   1.1

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 1999 – 2009

Tahun Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
2009 2,8
2008 2,6
2007 2,3
2006 2,4
2005 2,2
2004 2,0
2003 1,9
2002 1,9
2001 1.9
2000 1.7
1999 1.7

(sumber: Transparency International (TI), 2002 – 2009)

Permasalahan korupsi di Indonesia, menjadikan Indonesia masuk labelisasi sebagai negara terkorup di dunia. Hasil riset Transparansi Internasional pada tahun 1999 yang dilakukan pada 99 negara (n=99), hasilnya menempatkan Indonesia pada urutan ke97 setelah negara Nigeria dan Kamerun, dengan hasil ini menjadikan citra Indonesia menjadi  terpuruk di mata internasional. Sementara itu tahun 2009, Indonesia mendapatkan indeks skor 2,8 atau naik dari tahun lalu sebesar 2,6. Dengan demikian posisi Indonesia berada di bawah langsung Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam dan posisi teratas dipegang oleh Singapura.

Menurut (Erry Riyana Hardjapamengkas, 2006, p.vi-vii) proses penegakan hukum terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia dari masa-kemasa dapat dikatakan “jalan ditempat”. Badan atau lembaga pemberantasan korupsi yang pernah dibentuk pada masa terdahulu, dalam konteks penegakan hukum “menyala” hanya di awal pembentukannya saja, namun dikemudian hari sangat “miskin” perolehan prestasi.  Hal ini disebabkan “dukungan publik” atau masyarakat luas terhadap pemberantasan korupsi juga sangat rendah. Disisi lain sistem hukum di Indonesia ikut “memberikan rintangan” terhadap upaya pemberantasan korupsi, (Danang Widoyoko, 2006, p. viii-ix) menyatakan bahwa kelemahan sistem peradilan, adalah:

“ Karena sudah terstruktur dan membudaya, korupsi tidak dapat dilawan dengan penegakan hukum semata. Bayangkan, seandainya seluruh koruptor di Indonesia harus diadili dan dikirim ke penjara, diperlukan waktu yang sangat lama untuk proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pengadilan. Belum lagi jikakalau terpidana mengajukan banding dan kasasi. Alhasil untuk menyeret para koruptor ke penjara, dibutuhkan waktu bertahun-tahun. Kalaupun berhasil, belum tentu penjara yang ada, dapat menampung seluruh koruptor”

Selain itu kelemahan  sistem peradilan terhadap korupsi dapat dianalisis dari hasil penelitian “Global Corruption Barometer” di kawasan Asia Pasifik dan Eropa Tenggara pada tahun 2007, yang menyebutkan bahwa Institusi kepolisian, parlemen, institusi lembaga peradilan, dan partai politik, merupakan institusi yang rentan terhadap tindakan korupsi. Bahwa 1 dari 10 orang di seluruh dunia harus membayar suap untuk mendapatkan pelayanan publik. Selain Transparency International (TI) Indonesia tahun 2008 meneliti 15 institusi publik (dengan n=1218) dengan menghitung rasio kontak antara pelaku bisnis dan institusi publik yang rawan terjadi suap, menyimpulkan bahwa tingkat suap di institusi kepolisian mencapai (48%), dengan akumulasi rata-rata nilai transaksi suap mencapai Rp.2.273.000,- kemudian menyusul bea-cukai (41%), imigrasi (34%), DLLAJR (33%), Pemda (33%) dan badan pertanahan nasional dengan persentase (32%).

PERMASALAHAN

Penelitian ini berusaha mendeskripsikan bentuk peranan organisasi non-pemerintah  Indonesia Corruption Watch, sebagai bentuk reaksi sosial “non-formal” terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Indonesia sebagai negara demokrasi memiliki konsekuensi yaitu adanya partisipasi aktor-aktor yang berada di luar pemerintah, untuk ikut mendorong upaya pemberantasan korupsi. Aktor non-pemerintah ini, merupakan perwujudan masyarakat yang peduli terhadap upaya pemberantasan korupsi untuk  menuntaskan agenda reformasi di Indonesia (H.Paris Lindsey, 2002). Mengingat pelaku utama korupsi adalah negara dan sektor bisnis, dan masyarakatlah yang senantiasa menjadi korban, Indonesia Corruption Watch menjadi bagian dari komponen masyarakat yang kritis untuk memberikan wacana tandingan dalam mengawasi agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.

(Hamid Abidin dan Mimin Rukmini, 2004, p. 3-4) menjelaskan bahwa masyarakat sipil dalam bentuk organisasi non-pemerintah kini hadir dalam setiap bidang kehidupan dan menjadi penggerak utama arus perubahan di dalam masyarakat dan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintahan serta sistem politik di Indonesia, sekalipun terkadang melawan aktor-aktor utama yaitu pemerintah sebagai aktor pemegang kebijakan publik. Dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia, organisasi non-pemerintah berperan dalam mendorong dinamika sosial dan politik di masyarakat. Kepedulian nyata dan wacana-wacana kritis dalam mengusung tema-tema pemberantasan dan gerakan anti-korupsi, menunjukkan bahwa gerakan organisasi non-pemerintah memiliki keberanian terhadap pemerintah sebagai pemegang kebijakan publik. (H.Lindsey Parris, 2000, p. vii) dalam (Hamid Basyaib, 2000) Mencuri Uang Rakyat 16 Kajian Korupsi di Indonesia buku 4 Mencari Paradigma Baru, mengemukakan pandangannya bahwa:

“ LSM adalah kekuatan yang paling tepat untuk berada di baris terdepan dalam perjuangan anti-korupsi karena mereka mandiri dari pemerintah dan dunia bisnis. Setelah menyatakan pilihannya pada LSM untuk menjadi ujung tombak gerakan anti-korupsi di Indonesia, ia bertanya: mampukah mereka? Lindsey lalu meninjau dari segi “Budaya” para pemimpin gerakan anti korupsi. Mereka biasanya berumur 30-an, mampu berbicara dalam bahasa inggris, dan punya akses ke budaya Barat dan Internasional “

Sementara itu (H. Lindsey Parris, 2000, p.38)  mengutip  dari (Cohen dan Arato) bahwa ada dua alasan penting, mengapa organisasi non-pemerintah menjadi wadah ideal bagi perlawanan korupsi:

“ pertama, secara nominal struktural, independensi LSM dari pemerintah dan bisnis relatif memungkinkan mereka memiliki lebih banyak kebebasan untuk mengkritik penyelenggara negara dan sektor-sektor komersial. Seringkali pada sisi inilah legitimasi sebuah LSM justru diuji. Hal kedua, karena LSM ini tidak bergantung pada lembaga negara ataupun masyarakat bisnis untuk sumber dana maupun wewenang, biasanya sulit bagi kedua kelompok itu untuk mengontrol para aktifis LSM ”

Kiprah Indonesia Corruption Watch sebagai sebuah bentuk reaksi sosial non-formal masyarakat yang berperan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. (Teten Masduki, 2008, p. 208) mengungkapkan salah satu peranan  ICW dalam melakukan dorongan kasus korupsi pernah terjadi yang melibatkan pejabat tinggi di Kejaksaan Agung. Laporan korupsi Andi Muhammad Ghalib yang saat itu menjabat Jaksa Agung dan memiliki rekening dengan jumlah dana yang sangat besar pada sebuah bank swasta di Jakarta. ICW berperan melakukan investigasi dan mempublikasikan kasus-kasus korupsi yang selama ini diyakini umum atau publik, hampir tidak mungkin dapat disentuh oleh aparat penegak hukum karena berhubungan dengan penguasa politik, jenderal, dan konglomerat yang memiliki previllige. Hingga saat ini upaya pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi permasalahan kompleks dan memerlukan kerjasama dari berbagai pihak, dan ICW menjadi bagian dari salah satu elemen atau pihak yang turut bergabung dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

DEFINISI KONSEP

Konsep Korupsi

Korupsi merupakan suatu tindakan yang merugikan dan merupakan bentuk kejahatan. Menurut (Hamid Basyaib, 2008, p.3) korupsi didefinisikan sebagai, “tindakan yang merugikan kepentingan umum atau masyarakat luas demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu”. Sementara itu menurut kamus New World Dictionary of The American Languange, korupsi diterjemahkan sebagai perilaku jahat, tercela atau kebejatan moral.

Menurut (Muhammad Mustafa, 2007, p.17) kejahatan didefinisikan sebagai  “suatu tindakan yang bersifat merugikan dan melanggar sentimen masyarakat, juga melanggar ketentuan hukum dan sering terjadi dalam masyarakat sehingga membentuk suatu keteraturan atau pola tindakan”. (Andi Hamzah, 2008, p.1) memasukkan definisi korupsi sebagai jenis kejahatan, karena korupsi merupakan bagian kebudayaan masyarakat yang merugikan (kebudayaan masyarakat merupakan bentuk pola tindakan atau keteraturan). Oleh karenanya korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa, namun sudah digolongkan kedalam bentuk kejahatan luar biasa atau “extra ordinary crime”. (Evi Hartanti, 2008, p.9) dan (S. Anwary,  2005, p.9) mendefinisikan sebagai:

  1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.
  2. Korupsi: busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).

Sementara UU No.31 tahun 1999 junto UU No.20 Tahun 2001, mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi. Korupsi telah diatur dalam Bab I pasal 1  pada ketentuan umum, dijelaskan dan dirumuskan menjadi 13 buah pasal. Dan pasal-pasal tersebut menerangkan secara rinci mengenai perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana penjara karena korupsi dan dapat dikelompokan sebagai berikut:

  1. Kerugian keuangan negara
  2. Suap menyuap
  3. Penggelapan dalam jabatan
  4. Pemerasan
  5. Perbuatan curang
  6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
  7. Gratifikasi

Selain dari bentuk atau kelompok jenis tindakan pidana korupsi diatas, masih ada bentuk tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi dan tertuang dalam UU no.31 tahun 1999 junto UU no.20 tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu:

  1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi
  2. Tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar.
  3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka.
  4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberik keterangan palsu
  5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu.
  6. Saksi yang membuka identitas pelapor.

Sementara itu korupsi menurut (Danang Widoyoko, 2006, p. vii-viii) dapat diklasifikasikan menjadi dua macam. Yaitu petty corruption dan grand corruption. Kategori petty corruption adalah korupsi dalam pelayanan publik, yaitu korupsi kecil-kecilan dimana tujuan dan motif korupsi bukan dalam rangka menumpuk kekayaan, hal ini umumnya dilakukan pada kelas pekerja birokrasi dengan tingkat penghasilan dibawah rata-rata. Sementara kategori grand corruption, adalah mempunyai tujuan dan memiliki motif sarat dengan nafsu untuk mengakumulasi kekayaan dan sumber daya yang ada.

Konsep Organisasi Non-Pemerintah (Ornop)

Organisasi non-pemerintah (Ornop) secara harfiah diterjemahkan dari istilah bahasa Inggris yang berarti Non-Governmental Organization (NGO). (Steiner dan Alston, 2000, p.938) di dalam tulisan (H. Lindsey Parris, 2000, p.37) menjelaskan organisasi non-pemerintah adalah: “para pelaku non-pemerintah yang aktivitasnya merupakan dari bagian apa yang sekarang disebut sebagai civil-society atau masyarakat madani, jaringan advokasi antarnegara  serta gerakan-gerakan sosial.”

Menurut (Salamon dan Anhier, 1994), dalam tulisan (Shinichi Shigetomi, 2002, p.6-7) ada beberapa karakteristik yang menjadi ciri khas suatu organisasi non-pemerintah atau (ornop), yaitu:

  1. Non-governmental atau  non-pemerintah
  2. Non-profit-making atau bukan dalam rangka mencari keuntungan
  3. Voluntary atau melakukan pekerjaan dengan secara sukarela
  4. Of a solid dan contuining form
  5. Altruistic atau melakukan pembelaan terhadap kepentingan orang banyak
  6. Philantropic atau sikap-sikap kedermawanan

Sementara itu menurut (H. Lindsey Parris, 2000, p. 51-56) mengutip (Mc Dougal, Laswell,& Reisman, 1981, p.271-2) bahwa organisasi non-pemerintah yang terkait dengan reformasi hukum dan gerakan anti korupsi, secara garis besar dapat dikelompokkan kedalam:

  1. Organisasi non-pemerintah advokasi, adalah organisasi yang kesibukan utama melakukan lobi-lobi pemerintah dan menggalang opini media massa terhadap kasus-kasus yang menjadi isu publik. (pemantauan, terminasi dan penilaian)
  2. Organisasi non-pemerintah penelitian, adalah organisasi  umumnya yang melakukan pengumpulan data-data dan penulisan mengenai kebijakan atas pemerintah. (fungsi intelijen, promosi, saran-solusi).
  3. Organisasi non-pemerintah dengan fokus lokal, adalah organisasi yang melakukan lobi-lobi dan kegiatan yang bersifat lokal atau kedaerahan. (pengajuan tuntutan, aplikasi dan terminasi).

Pola Reaksi Sosial Kejahatan

Reaksi sosial terhadap kejahatan sebagai kajian dalam kriminologi. Kejahatan adalah suatu perbuatan yang merugikan dan melanggar sentimen masyarakat, oleh karenanya masyarakat kemudian memberikan reaksi terhadap bentuk-bentuk kejahatan. Dimensi dalam kajian kriminologi adalah: kejahatan, pelaku kejahatan, korban kejahatan dan reaksi sosial masyarakat terhadap kejahatan.

Sebagai salah satu kajian dalam kriminologi, reaksi sosial masyarakat terhadap kejahatan menunjukkan bahwa masyarakat tidak berkehendak dan berupaya mencegah agar kejahatan tidak terjadi kembali. (Muhammad Mustofa, 2007, p.43) menjelaskan bahwa reaksi sosial dalam kajian kriminologi mempunyai dimensi yang sangat kompleks dan dapat dibedakan dalam tiga bentuk berdasarkan sifatnya, yaitu:

  1. Reaksi masyarakat terhadap kejahatan yang bersifat  formal,
  2. Reaksi masyarakat terhadap kejahatan yang bersifat informal,
  3. Reaksi masyarakat terhadap kejahatan yang bersifat  non-formal,

Reaksi formal masyarakat, dimana (Muhammad Mustofa, 2007, p. 43) menjelaskan bahwa pola tindakan masyarakat yang dilakukan oleh yang dibentuk secara formal oleh negara dalam rangka menanggulangi kejahatan. Reaksi formal ini dalam bentuk sistem hukum dan dibentuknya sistem peradilan pidana. Lebih lanjut (Muhammad Mustofa, 2007) menjelaskan bahwa sistem peradilan pidana dimulai dari kepolisian, lembaga kejaksaan, lembaga peradilan dan lembaga pemasyarakatan. Khusus untuk korupsi ada kewenangan khusus yaitu Komisi pemberantasan korupsi dengan tugas melakukan pemberantasan korupsi dengan dasar tindak pidana korupsi. Dan juga ada badan peradilan umum yang ditangani oleh bidang pidana khusus kejaksaan dan kepolisian.

Reaksi kejahatan Informal, menurut (Muhammad Mustofa, 2007, p.52-53) adalah reaksi terhadap tindakan kejahatan yang tidak dilakukan oleh lembaga-lembaga resmi. Menurutnya bahwa diskresi kepolisian terhadap satu jenis kejahatan tertentu merupakan bentuk reaksi informal terhadap kejahatan. Selain itu aksi bakar massa ketika penjahat tertangkap tangan, juga merupakan bentuk informal masyarakat terhadap kejahatan.

Sementara itu reaksi sosial kejahatan Non-formal, (Muhammad Mustofa, 2007, p. 55) adalah: berbagai bentuk tindakan yang dilakukan oleh warga masyarakat secara langsung terhadap pelaku kejahatan tanpa ada kaitannya dengan sistem peradilan pidana. Bentuk-bentuk reaksi sosial masyarakat yang sifatnya non-formal pada kasus korupsi, adalah umumnya dalam bentuk unjuk rasa atau demonstrasi, baik secara langsung terhadap pelaku kejahatan korupsi, atau secara tidak langsung berupa tuntutan kepada sistem peradilan pidana, agar “yang bersangkutan” diproses dengan sungguh-sungguh dan sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat.

Menurut (Khoirullah, 2004) dalam laporan tesis; Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia, melihat Indonesia Corruption Watch dalam  perspektif gerakan sosial. Penelitian (Khoirullah, 2004, p.135-139) pada Indonesia Corruption Watch melihat bahwa organisasi ini sebagai gerakan sosial di Indonesia yang muncul pasca-reformasi bergulir pada tahun 1998. Ciri-ciri gerakan sosial yang diusung ICW adalah fokus terhadap isu-isu anti-korupsi dalam upaya melakukan fungsi kontrol dan penyeimbang terhadap relasi kekuasaan pemerintah dan swasta.

Sementara itu (Simona Busoi, 2007, p.100) menjelaskan di Romania kelompok penekan ikut berperan dalam upaya menurunkan level korupsi di negara tersebut. Kelompok penekan menggunakan lobi-lobi untuk mendukung munculnya undang-undang dalam melawan korupsi, yang mengatur keterbukaan atau transparansi atas partai politik, kontrol atas pemasukkan pejabat negara, memisahkan konflik-konflik kepentingan, independensi sistem peradilan, serta merangkul pihak swasta untuk ikut serta menciptakan ekonomi bebas yang sehat dan membersihkan sistem demokrasi dari pengaruh-pengaruh korupsi.


METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan studi kasus, oleh karena itu penulis melakukan penelaahan kajian-kajian dokumentasi yang membahas mengenai peranan organisasi non-pemerintah dalam mendorong pemberantasan korupsi. Untuk menggali informasi mengenai peranan organisasi non-pemerintah dalam pemberantasan korupsi, penulis menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut (Burhan Bungin, 2003, p.v) pendekatan kualitatif dalam penelitian dapat dipahami bahwa temuan-temuan data dan fakta dalam studi ini dirasakan lebih menjawab persoalan sebenarnya daripada hanya sekedar melihat statistik angka-angka hasil rumusan pendekatan kuantitatif. Sementara itu (Koentjaraningrat, 1997, p.7) menambahkan bahwa pendekatan penelitian kualitatif tidak hanya menekankan pada gambaran angka-angka yang mendeskripsikan suatu permasalahan, tetapi lebih itu memberikan informasi dan gambaran mengenai suatu fenomena permasalahan tertentu.

Guna melakukan analisis mendalam bentuk peranan organisasi non-pemerintah  Indonesia Corruption Watch, yang merupakan reaksi sosial “non-formal” terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia., maka digunakalah tipe penelitian berupa analisis dokumen (analysis of documents atau documentary analysis). Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data analisis dokumen dengan melakukan pengumpulan dokumen dari lembaga resmi (ICW, KPK, YLBH), buku (dalam format ebook), undang-undang dan peraturan lainnya, jurnal dan berbagai artikel media massa. Teknik ini disebut juga sebagai analisis data sekunder, dengan alasan, bahwa data yang didapat tidak berasal dari narasumber secara langsung tetapi hasil data sekunder. Hal ini dilakukan untuk melengkapi data sekunder yang menjadi sumber data utama dalam penelitian ini. Langkah-langkah pelaksanaan ini antara lain:

i. Memilih permasalahan penelitian yaitu bentuk peranan organisasi non-pemerintah  Indonesia Corruption Watch, yang merupakan reaksi sosial “non-formal” terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia.

ii. Melakukan analisis dokumen berdasarkan pada definisi konsep dan perkembangan peranan organisasi non-pemerintah, sebagai bentuk reaksi sosial “non-formal” dalam upaya pemberantasan korupsi, dan;

iii. Melakukan analisa bentuk peranan organisasi non-pemerintah  Indonesia Corruption Watch terkait teori dan kerangka pemikiran yang telah disusun sebelumnya.

ANALISA

ICW dan  Reaksi Sosial Non-Formal Terhadap Korupsi

Indonesia sebagai negara demokrasi memiliki konsekuensi yaitu adanya partisipasi aktor-aktor yang berada di luar pemerintah, untuk ikut mendorong upaya pemberantasan korupsi. Dalam konteks ini “Indonesia Corruption Watch” memainkan peran dengan menjadi bagian reaksi sosial non-formal terhadap kejahatan korupsi, yang bersifat di luar sistem legal yang dibentuk negara. Menurut (Muhammad Mustofa, 2010) Munculnya reaksi sosial non-formal terhadap kejahatan korupsi ada, karena masyarakat menginginkan sistem peradilan dapat lebih bekerja sungguh-sungguh dalam menuntaskan penanganan permasalahan korupsi dan mengevaluasi terkait agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.

Korupsi sebagai permasalahan utama bangsa Indonesia, menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat. Reaksi ini ada karena masyarakat tidak berkehendak dan berupaya mencegah agar kejahatan tidak terulang kembali di masa mendatang. Menurut (Muhammad Mustofa, 2007, p.55) reaksi atas kejahatan ini dapat dianalisis ke dalam dua bentuk yaitu bentuk reaksi formal dan  bentuk reaksi non-formal.

Pertama, bentuk reaksi formal terhadap kejahatan korupsi, yaitu pola tindakan masyarakat yang diwakili secara formal oleh negara dalam rangka menanggulangi kejahatan. Landasan reaksi formal ini tertuang dalam UU no.31 tahun 1999 junto UU no.20 tahun 2001 mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi, dan undang-undang nomor 30 tahun 2002 mengenai komisi tindak pidana korupsi sebagai dasar pembentukkan komisi pemberantasan korupsi, (KPK).

Kedua, bentuk reaksi non-formal terhadap korupsi yang lebih berdimensi sosial, adalah berbagai bentuk tindakan yang dilakukan oleh warga masyarakat secara langsung terhadap pelaku kejahatan tanpa ada kaitannya dengan sistem peradilan pidana. Misalnya demonstrasi atau kampanye anti-korupsi yang dilakukan untuk menuntut sistem peradilan pidana, agar “pelaku korupsi” diproses sesuai hukum dan rasa keadilan masyarakat. Dan bersamaan dengan itu pemerintah melalui UU no.31 tahun 1999, pada bab 5 pasal 41 yang memberikan ruang dan mengatur mengenai peran serta masyarakat dalam proses pemberantasan korupsi. Sehingga dasar inilah bagi organisasi non-pemerintah untuk melakukan dorongan dan pengawasan terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia , yaitu:

(1).Masyarakat dapat berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan tindak  pidana  korupsi.

(2).Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk:

a.hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;

b.hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan  memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;

c.hak untuk menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada aparat penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;

d.hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;

e.hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal;

1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, danc;

2)dimana hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan disidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

3)masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya mencegah pemberantasan tindak pidana korupsi;

4)hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yangdiatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma sosial lainnya;

5)ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Mengacu pada UU no.31 tahun 1999 pada bab 5 pasal 41 mengenai tindak pidana korupsi yang mengatur peran serta masyarakat, maka organisasi non-pemerintah Indonesia Corruption Watch dalam kapasitas sebagai masyarakat diberikan ruang untuk ikut mengawasi dan mendorong upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Dan hal ini menunjukkan peran ICW sebagai wujud reaksi sosial masyarakat yang bersifat non-formal terhadap kejahatan korupsi, dimana diberikan ruang di luar sistem yang telah dibentuk negara. Lalu wujud reaksi sosial non-formal ICW, dapat terlihat melalui implementasi aktivitas-aktivitas divisi dan program kerja organisasi non-pemerintah ICW dalam koridor agenda gerakan anti-korupsi di Indonesia.

Reaksi sosial non-formal terhadap pemberantasan korupsi, yang utamanya ditujukan kepada sistem peradilan pidana dapat dilihat dari divisi atau program kerja yang secara langsung mendorong  sistem peradilan pidana (reaksi formal), untuk bekerja ekstra dalam pemberantasan korupsi. Divisi Program Monitoring Hukum dan Peradilan ICW yang melakukan hal tersebut terkait beberapa hal:

  1. Perlindungan Saksi. ICW menilai lembaga perlindungan saksi menjadi bagian penting dalam penuntasan kasus korupsi. Penuntasan kasus-kasus korupsi selama ini terkendala akibat tidak adanya perlindungan yang memadai terhadap saksi atau pelapor atas kasus-kasus korupsi dari berbagai ancaman yang mungkin timbul.
  2. Monitoring Kinerja Kejaksaan Agung. ICW ikut mengkritisi kinerja Kejaksaan Agung yang belum menunjukkan perbaikan dengan memberikan raport merah terkait dengan skandal rekaman Anggodo dengan petinggi Kejaksaan Agung dan Polri.
  3. Monitoring Kinerja Mahkamah Agung. Pada tanggal 18 Maret 2009, Ketua MA mengeluarkan SK No 041/KMA/K/III/2009 yang menunjuk 9 (sembilan) hakim karir Pengadilan Tipikor. Kemudian ICW melakukan advokasi dan penunjukkan 9 hakim karir untuk Pengadilan Tipikor yang melanggar ketentuan perundang-undangan.
  4. Advokasi Legislasi UU Pengadilan Tipikor. Menurut pandangan ICW, pembahasan RUU Pengadilan Tipikor sepanjang 2008-2009 berjalan lamban, tidak transparan dan tidak partisipatif. Demikian halnya dengan substansi RUU yang bermasalah karena tidak memperkuat keberadaan pengadilan Tipikor, akan tetapi cenderung melemahkan keberadaannya, seperti pelemahan kewenangan penuntutan dan penyadapan.
  5. Wacana Seragam Bagi Koruptor. Indonesia Corruption Watch tahun 2008 mewacanakan pengenaan seragam khusus bagi pelaku korupsi (koruptor) untuk memberikan efek jera terhadap pelaku korupsi dengan mendatangi KPK untuk mengusulkan desain baju khusus koruptor.

REFERENSI

Abidin, Hamid dan Mimin Rukmini. (2004). Kritik dan Otokritik LSM; Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia. Jakarta: Yayasan TIFA.

Anwary, S. (2005). Quo Vadis Pemberantasan Korupsi di Indonesia; Studi Kasus Tindak Pidana Korupsi dan Strategi Pemberantasannya, (3rd ed.). Jakarta: Institute Of  Socio-Economics and Political Studies People Message (AMRA).

Basyaib, H., R. Holloway, & N.A. Makarim. (2002). Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia. Buku 2 Pesta Tentara, Hakim, Bankir, Pegawai Negeri. Jakarta: Yayasan Aksara.

Basyaib, H., R. Holloway, & N.A. Makarim. (2002). Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia. Buku 4 Mencari Paradigma Baru. Jakarta: Yayasan Aksara.

Bungin, Burhan. (2003). Analisis Data Penelitian Kualitatif; Pemahaman Ffilosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

Bungin, Burhan. (2009). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Buechler, Steven M. (Summer, 1995). New Social Movement Theories. Journal  The Sociological Quarterly, Vol.36,No.3, pp. 441-464.  Available at:  http://www.jstor.org/stable/4120774

Choi, Jin-Wook. (Des.,2007). Corruption, Government Innovation and Governance. Dept. of Public Administration Korea University. Available at: http://www.docstoc.com/docs/DownloadDoc.aspx?doc_id=1949528

Cooper, A. Drury, Jonathan Krieckhaus, & Michael Lusztig. (Apr.,2006). Corruption, Democracy, and Economic Growth. Journal International Political Science. Vol.27,No.2 pp.121-136., Available at: http://www.jstor.org/stable/20445044

Damanhuri, Didin S. (2006). Korupsi, Reformasi Birokrasi, dan Masa depan Ekonomi Indonesia. Depok: Lembaga Penerbit FEUI.

Darmawan, HCB. (Ed). (2004).  Kiprah Lembaga Swadaya Masyarakat: Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Gibbs, Jack P. (Ed). (1982). Social Control view from Social Sciences. California: SAGE Publications inch.

Gunawan, Dedi. (2006). Peran LSM Dalam Mengungkap Kasus Korupsi Sebagai Bentuk Reaksi Sosial Masyarakat Terhadap Kejahatan: Studi Kasus Dugaan Korupsi. Skripsi, Depok: Departemen Kriminologi, FISIP Universitas Indonesia.

Haller, Dieter and Cris Shore. (Ed). (2005) Corruption Anthropological Perspectives. Archway Road, London: Pluto Press.  www.plutobooks.com

Hamzah, Andi. (2008). Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara. Jakarta: Sinar Grafika.

Handler, Joel F. (1978). Social Movements and the Legal System: A theory of Law Reform and Social Change. NewYork: Academicpress inch.

Haryono, Jamal Bake, & Saleh Syafei. (2002). Budaya Korupsi ala Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Pengembangan Kawasan (PSPK).

Hartanti, Evi. (2008). Tindak Pidana Korupsi. (2nd ed.) Jakarta: Sinar Grafika.

ICW (2008). Annual Report Indonesia Corruption Watch  tahun 2008, Mengawal Semangat Pemberantasan Korupsi.

ICW (2009). Annual Report Indonesia Corruption Watch  tahun 2009.  http://www.antikorupsi.org

Kenneth T. Andrews and Bob Edwards. (2004). Advocacy Organizations in the U.S. Political Process. Journal Annual Review of Sociology, Vol.30  pp. 479-506.  Available at:  http://www.jstor.org/stable/29737703

Koentjaraningrat. (1997). Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Komisi Pemberantasan Korupsi. (2006). Memahami Untuk Membasmi: Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi.  Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi. (2005). UU No.30/2002, UU No.20/2001, UU No. 31/1999, UU No, 28/1999, UU No.3/1971, PP No.71/2000. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi.

KPK (2007). Annual Report Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2007

Khoirullah. (2005). Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Tesis Magister tidak diterbitkan untuk umum. Depok: Program Pasca Sarjana Departemen Sosiologi, Universitas Indonesia,

Mustofa, Muhammad. (2007). Kriminologi: Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang dan Pelanggaran Hukum. Depok: Fisip UI Press.

Mustofa, Muhammad. (2010). Kleptokrasi : Persekongkolan Birokrat-Korporat sebagai Pola White-Collar Crime di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Mustofa, Muhammad. (2007). Metodologi Penelitian Kriminologi. (2nd ed.) Depok: Fisip UI press.

Quah, John S.T. (Nov.-Dec., 1999). Corruption in Asian Countries: Can It Be Minimized?. Journal of Public Administration Review, Vol. 59, No. 6 pp. 483-494. Available at:  http://www.jstor.org/stable/3110297

Rizal Malik. Report on the Transparency International Global Corruption Barometer 2007,  Available at http://www.ti.or.id/researchsurvey/90/tahun/2007/bulan/12/tanggal/06/id/3473/ ,

Sandholtz, Wayne & Mark M. Gray. (Autumn, 2003). International Integration and National Corruption. Journal of International Organization, Vol.57, No.4, pp. 761-800. Available at:   http://www.jstor.org/stable/3594846

Setiawan, Bonnie. (1996). Organisasi Non-Pemerintah dan Masyarakat Sipil. dalam Jurnal Prisma No.7 Tahun XXV Juli

Setiawan, Bonnie. (Ed). (2000). Perjuangan Demokrasi dan Masyarakat Sipil: Reposisi dan Peran Ornop/LSM di Indonesia. Jakarta: International NGO Forum on Indonesia Development (INFID).

Shigetomi, Shinichi. (Ed). (2002). The State and NGO’s Perspectif from Asia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Singh, Rajendra dan Mansour Fakih. (Ed). (2002). Wacana: Menuju Gerakan Sosial Baru. Yogyakarta: Insist Press.

Suryabrata, Sumadi. (2000). Metode Penelitian. Jakarta: Rajawalipress.

Sumarsono, Harlan. (2009). Paradoks Demokrasi Politik, Polemik dan Problematik: Satu Dasawarsa Demokratisasi dan Relokasi Kekuatan di Indonesia. Jakarta: IHC.

Taylor, Brian D., (Mar., 2006). Law Enforcement and Civil Society in Russia. Journal  Europe-Asia Studies, Vol.58, No.2 pp. 193-213. Available at:  http://www.jstor.org/stable/20451183

Tevfik F. Nas, Albert C. Price, & Charles T. Weber. (Mar.,1986).  A Policy-Oriented Theory of Corruption. Journal The American Political Science Review, Vol.80,No.1 pp.107-119. Available at: http://www.jstor.org/stable/1957086

Tim Taskforce. (2008). Pengadilan Tindak Pidana Korupsi; Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang. Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KHRN).

Todung Mulya Lubis. Peringkat Korupsi Indonesia Belum Beranjak Secara Signifikan. Available at: http://www.ti.or.id/researchsurvey/90/tahun/2006/bulan/10/tanggal/18/id/2824/

Trisasongko, Dadang., Sofie Arjon Schuette  & Veven Sp.Wardhana (Ed). (2006). Melawan Korupsi dari Aceh sampai Papua; 10 kisah Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia.

Vose, Clement E. (Sep., 1958).  Litigation as a Form of Pressure Group Activity. Journal Annals of the American Academy of Political and Social Science, Vol.319,pp.20-31, Available at:  http://www.jstor.org/stable/1032433

Widoyoko, Danang, et all. (2006). Saatnya Warga Melawan Korupsi: Citizen Report Card untuk Pendidikan. Jakarta: Indonesia Corruption Watch.

Wijayanto, & Ridwan Zahcrie. (Ed). (2009). Korupsi: Mengorupsi Indonesia, Sebab Akibat, dan Prospek Pemberantasannya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Zakiyah, Wasingatu., et all. (2002). Menyingkap Tabir Mafia Peradilan. Jakarta: Indonesia Corruption Watch.

Comments»

No comments yet — be the first.

Leave a comment